Pengertian Jual Beli
Jual beli atau dalam bahasa arab al-bai’menurut etimologi adalah :
مُقَا بَلَةُ شَيْءٍ بِشَيْءٍ
“Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.”
Jual beli menurut bahasa adalah tukar-menukar apa saja, baik antara barang dengan barang, barang dengan uang, uang dengan uang.[1]
A. Syarat-Syarat Jual Beli
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, yaitu
1. Syarat in’iqat (terjadinya akad)
2. Syarat sahnya jual beli
3. Syarat kelangsungan jual beli (syaratnafadz)
4. Syarat mengikat (syarat luzum)
Maksud diadakannya syarat-syarat ini adalah untuk mencegah terjadinya perselisihan diantara manusia, menjaga kemaslahatan pihak-pihak yang melakukan akad, dan menghilangkan sifatgharar (penipuan). Apabila syarat in’iqad (terjadinya akad) rusak (tidak terpenuhi) maka akad menjadi batal. [2]
B. Syarat Sah Jual Beli
Syarat sah jual beli terbagi menjadi dua bagian, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap jenis jual beli agar jual beli tersebut dianggap sah menurut syara’ . secara global akad jual beli harus terhindar dari enam macam aib:
1. Ketidakjelasan
2. Pemaksaan
3. Pembatasan dengan waktu
4. Penipuan
5. Kemudaratan
6. Syarat-syarat yang merusak
C. Rukun Jual Beli
Rukun jual beli terdiri atas tiga macam:
1. Akad
Jual beli belum dapat dikatakan sah sebelum ijab kabul dilakukan. Hal ini karena ijab kabul menunjukkan kerelaan kedua belah pihak kerelaan kedua belah pihak. Pada dasarnya ijab kabul itu harus dilakukan dengan lisan. Akan tetapi, kalau tidak mungkin, misalnya karena bisu, jauhnya barang yang dibeli, atau penjualnya jauh boleh dengan perantaraan surat-menyurat yang mengandung arti ijab kabul itu.
Hadis Rasululloh SAW. Menyatakan:
عَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَيَغْتَرِقَنَّ
إِتَنَا نِ إِلاَّ عَنْ تَرَاضٍ.
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r,a, dan Nabi SAW, beliau bersabda, “dua orang yang berjual beli belumlah boleh berpisah, sebelum mereka berkerelaan.”
(H.R. Abu Dawud dan Tirmizi)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Said r.a. disebutkan:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ.
Artinya:
Rasululloh SAW, telah bersabda, “jual beli baru dianggap sah kalau sudah berkerelaan.”(H.R. Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)
Menurut fatwa ulama Syafi’iyah, pada jual beli yang kecil pun harus disebutkan lafal ijab kabul, seperti jual beli lainnya. Akan tetapi, Naawawi dan kebanyakan ulama Mutaakhirin dari ulam Syafi’iyah tidak mensyaratkan akad pada barang yang tidak begitu tinggi hargannya, seperti jual beli sebungkus rokok dan lain-lainnya. Hakikat jual beli yang sebenarnya ialah tukar menukar yang timbul dari kerelaan harus diketahui dengan qorimah (tanda-tanda), yang sebagiannya ialah dengan ijab kabul.
Syarat sah ijab kabul :
a. Tidak ada yang membatasi (memisahkan).si pembeli tidak boleh diam saja setelah si penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya.
b. Tidak diselingi oleh kata-kata lain
c. Tidak dita’likan. Umpamannya,
d. Tidak dibatasi waktunya. Umpamanya, “Aku jual barang ini kepadamu untuk sebulan saja”, dan lain-lain.
Jual beli seperti ini tidak sah sebab suatu barang yang sudah dijual menjadi hak milik bagi si pembeli untuk selama-lamanya, dan si penjual tidak berkuasa lagi atas barang itu.
2. Orang yang berakad
Bagi orang yang berakad diperlakukan beberapa syarat.
a. Balig (berakal) agar tidak mudah ditipu orang. Tidak sah akad anak kecil, orang gila, atau orang bodoh sebab mereka bukan ahli tasarruf (pandai mengendalikan harta). Oleh sebab itu, harta benda yang dimiliki sekalipun tidak boleh diserahkan kepadanya.
b. Beragama islam. Syarat ini hanya tertentu untuk pembelian saja, bukan untuk penjual, yaitu kalau di dalam sesuatu yang dibeli tertulis firman Alloh walaupun satu ayat, seperti membeli kitab Al-Qur’an atau kitab-kitab hadis Nabi. Begitu juga kalau yang dibeli adalah budak yang beragama islam dan kaum muslimun sebab mereka berhak berbuat apa pun pada sesuatu yang sudah dibelinya.
3. Barang yang diperjualbelikan (Ma’kud Alaihi)
Syarat barang yang diperjualbelikan adalah sebagai berikut.
a. Suci aatau mungkin disucikan. Tidaklah sah menjual barang yang najis, seperti anjing, babi, dan lain-lainnya.
Dalam sebuah hadis disebutkan:
عَنْ جَا بِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ عَنِ اْلمُحَا قَلَةِ
وَالْمُحَا قَلَةِ وَلمُخَا ضَرَةِ وَالْمُخَا ضَرَةِ وَلْمُلاَ مَسَةِ وَالْمُنَا بذَ ةِ وَالْمُزَابَنضةِ .
Artinya:
“Dari Jabir r.a. bahwa Rasululloh SAW. Besabda, sesunggunya Alloh dan Rasul telah mengharumkan jual-beli arak, bangkai, babi, dan berhala.”
(H.R.Bukhari dan Muslim)
b. Memberi manfaat menurut syara. Tidaklah sah memperjualbelikan jangkrik, ular, semut, atau binatang buas. Harimau, buaya dan ular boleh dijual kalu hemdak diambil kulitnya untuk disamak, dijadikan sepatu, dan lain-lain, namun tidak sah bila digunakan untuk permainan karena menurut syara’ tidak ada manfaatnya. Begitu juga alat-alat permainan yang meninggalkan kewajiban kepada Alloh.
c. Dapat diserahkan secara cepat atau lambat. Tidaklah sah menjual binatang-binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi, atau barang-barang yang hilang, atau barang yang sulit dihasilkannya.
d. Milik sendiri. Tidaklah sah menjual barang orang lain tanpa seizin pemiliknya atau menjual barang yang hendak menjadi milik.
e. Diketahui (dilihat). Barang yang diperjualbelikan itu harus diketahui banyak, berat atau jenisnya. Tidaklah sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak
D. Jual Beli Yang Terlarang Dan Tidak Sah
Barang-barang yang dilarang diperjualbelikan serta membatalkan ijab kabul adalah sebagai berikut:
1. Barang yang dihukumi najis oleh agama, umpamanya anjing, babi dan sebagainya (lihat syarat berjual beli diatas). Setiap barang yang dilarang diperjualbelikan dapat membatalkan ijab kabul.
2. Bibit (mami) binatang ternak, dengan cara meminjamkannya untuk mengambil keturunannya. Jual beli itu itu batal kkarena ukuran barangnya tidak kelihatan.
3. Anak binatang yang akan dikandung oleh anak yang masih di dalam kandungan induknya. Dilarang memperjualbelikannya karena barang yang diperjualbelikan itu belum ada
4. Bi Muhaqalah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih diladang atau disawah dengan tamar (gandum) secara katian.hal ini karena mahaqalah berasal dari haqalah yang berarti tanah,sawah, atau kebun. Ini dilarang oleh agama karena mengandung unsur riba di dalamnya sebab tidak diketahui persamaanya.
5. Bi Mukhadarah, yaitu jual-beli buah-buahan sebelum nyata baiknya dipetik, atau dinamakan jual-beli buah biji muda atau ijon. Hal ini dilarang karena belum jelas hasilnya, kecuali kalau sudah nyata dan dapat diambil manfaatnya.
6. Bi Mulamasah, yaitu jual beli secara sentuhan. Seorang seseorang menyentuh suatu barang, umpamanya, dengan tangannya di waktu malam atau siang,tanpa membalikkan atau mengembangkannya. Bila barang itu tersentuh, terjadilah jual beli. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan mungkin merugikan salah satu pihak.
7. Bi Muzabah, yaitu jual beli secara lemparan.
8. Bi Muzanabah, menjual buah yang basah dengan buah yang kering.
Hadis Rasululloh menyatakan:
عَنْ
Artinya:
“Dari Anas r.a. ia berkata, “Rasululloh SAW telah melarang melakukan mahaqalah, mukhadarah, mulamasah, munabazah, dan muzanabah.”
Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan.
9. Penjualan bersyarat
10. Bi gurur (jual beli yang sudah jelas mengandung tipuan), seperti menjual ikan di dalam air (kolam) atau menjual barang yang dari luarnya kelihatan baik, tetapi di dalamnya buruk, dan yang sejenisnya.[3]
E. Jual Beli Yang Terlarang, Tetapi Sah
Ada beberapa jual beli yang dilarang oleh agama, tetapi sah dilakukan dan orang yang melakukannya mendapat dosa.
1. Menemukan kafilah yang hendak pergi ke pasaruntuk membeli barang-barangnyadengan harga semurah-murahnya sebelum mereka tahu harga pasaran kemudian menjual barang dengan harga yang setinggi-tingginya. Perbuatan ini menyulitkan orang lain apalagi bila barang yang dibawa adalah keperluan pokok, seperti bahan makanan, pakaian, dan lain-lainnya.
2. Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain sebelum ada ketetapan hargannya. Seseorang berkata kepada pedagang barang, “tolaklah harga tawarannya itu, aku akan membeli dengan harga yang lebih mahal.” Hal ini dilarang oleh agama karena menyakitkan hati orang lain.
3. Bi Najasyi, menambah atau melebihi harga, tetapi bukan bermaksud hendak membeli, melainkan memancing orang lain untuk membeli barang tersebut. Hal ini banyak kita temui di kalangan para pedagang yang bekerja sama dalam penjualan suatu barang. Perbuatan ini dilarang karena menyakitkan hati pembeli.
4. Menjaul diatas penjualan orang lain. Seseorang berkata kepada si pembeli,”kembalikan saja barang itu, aku akan menjual barangku dengan harga yang lebih murah.”hal ini dilarang oleh agama karena menyakitkan hati si penjual.
Segala macam penjualan di atas dilarang, bukan karena syarat dan rukunnya yang tidak mencukupi, tetapi menyempitkan hidup manusia dan menyakitkan hati pembeli atau penjual.
F. Berselisih Dalam Jual Beli
Apabila orang yang berjual beli berselisih dalam suatu barang yang diperjualbeliakan, bila tak ada saksi dan keterangan lainnya, yang dibenarkan ialah kata-kata pemilik barang.
Hadis Rasululloh SAW, menyatakan:
عَنْ عَبْدِ اللّهِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ قَالَ:إِذَااخْتَلَفَ
الْبَيِعَا نِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةنمكطٌ فَهُوَمَايَقُوْلُ رَبُّالسِّلْعَةِش أَوْيَتَتَرَكَاَنِ
Artinya:
“Dari Abudulloh r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda , “bila dua orang yang berjual beli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, yang dibenarkan ialah perkataan yang memiliki barang atau keduanya membatalkan jual beli.
(H.R. Abu Dawud dan Tirmizi)
Dalam melakukakan juak beli, penjual dan pembeli hendaklah berterus terang dan mengatakan hal yang benar. Jangan berdusta dan jangan bersumpah dusta sebab sumpah dan dusta itu menghilangkan berkah dalam jual beli.
Dalam hadis Rasululloh SAW. Disebutkan:
عَنْ أَبِى هُرَ يْرَ ةَ رَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
اَلْحَلْفُ مَنْفَقَةُ لِلسِّلْعَةِ مَمْحَقَةُ لِلْبَرَكَةِ.
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda ,”bersumpah itu mempercepat terjualnya barang, tetapi menghilangkan berkah.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Pedagang yang jujur dan benar, berdekatan dengan para nabi dan sahabat serta orang-orang mati syahid di hari kiamat.
Hadis Rasululloh SAW. Menyebutkan:
عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى للَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:التَّا جِرُ
الصَّدُ وْقُ اْلأَ مِيْنُ يُحْشَرُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّ يْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ.
Artinya:
“Dari Hasan, dari Abi Said, dari Nabi SAW, beliau bersabda,”kaum saudagar yang benar dan jujur itu akan dikumpulkan nanti di hari kiamat dengan nabi-nabi, dan sahabat-sahabat, serta orang yang mati syahid,”
Tujuan dan bentuk-bentuk jual beli
Dalam aktivitas jual beli terdapat unsur tolong menolong, di mana pihak penjual mencari rezeki dan mencari keuntungan dari hasil penjualan barangnya, sedangkan pembeli terpenuhi kebutuhan hidupnya. Tiap orang membutuhkan jual beli untuk memenuhi kebutuhan, dan maksud serta keinginannya sehingga Alloh menghalalkan akad jualnbeli itu, Al-Quran sendiri telah mengisyaratkan agarbumat manusia hidup dengan berlandaskan tolong-menolong, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Maidah ayat 2:
وَتَعَا وَنُوا عَلىَ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَا وَنُوا عَلىَ اْلإِ ثْمِ وَالْعُدْ وَانِ
"Dan tolong-menolong kamu (mengerjakan) dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu menolong dalam, berbuat dosa dan pelanggaran".
Untuk melestarikan tujuan tersebut, maka toleransi atau lapang dada dalam aktivitas perdagangan danbjual beli ini sangat diperlukan dan iya merupakan perbuatanbyang mendatangkan keberhasilan serta keberkahan usaha. Rasululloh bersabda:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّه رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَا لَ:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَا عَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.
"Dari Jabir ibn Abd Alloh r.a. bahwasanya Rasululloh SAW bersabda, "Alloh mengasihi kepadanorang-orang yang memberikan kemudahan ketika ia menjual dam membeli serta ketika menagih haknya." (HR. al-Bukhari)
Di samping itu, jual beli juga menghindarkan seseorang dari penguasaan harta secara tunggal atau agar harta ituntidak berputar atau beredar di lingkungan orang-orang kaya saja (Q.S. al-Hasyr:7) dan juga agar umat manusia terutama kaum beriman terhindar dari perbuatan saling memakan harta dengan cara-cara yang batal sehingga diadakanlah perniagaaan atau juak beli (Qs.an-Nisa:29).
Bentuk-bentuk jual beli dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, dilihat dari segi kebahasannya syara', ada dua bentuk jual beli, yaitu:
1. Pertama
a. Jual beli yang shahih, jual beli yang telah memenuhi semua rukun dan syarat.
b. Jual beli yanhg tidak shahih, jual beli yang salah satu atau semua rukunnya tidak terpenuhi.
2. Kedua
a. Jual beli umum, yaitu menukar barang dengan uang.
b. Jual beli al-sharf atau money changer, yaitu penukaran uang dengan uang.
c. Jual beli barter, yaitu menukar barang dengan barang.
3. Ketiga
a. Jual beli tawar menawar, yaitu jual beli di mana pihak penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b. Jual beli amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan harga modal jualannya.
c. Jual beli lelang, yaitu jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya. Kemudian para pembeli saling menawar dengan menambah jumblah pembayaran dari pembeli sebelumnya, kemudian si penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari pada pembeli tersebu.
4. Keempat
a. Jaul beli dengan penyerahan barang dan pembayarannya secara langsung.
b. Jual beli dengan pembayaran barang tertunda.[4]
G. Pengertian Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, yang secara etimologi berarti al-ziyadah(tambahan) atau al-nama (tumbuh). Pertambahan di sini bisa disebabkan oleh faktor intern atau ekstern. Dalam pengertian linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Secara istilah syar’i, menurut A.Hassan, riba adalah suatu tambahan yang diharamkan di dalam urusan pinjam-meminjam. Syabirin Harahap menyatakan bahwa riba adalah kelebihan dari jumlah uang yang dipinjamkan. Shaleh ibn Fauzan berpendapat bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam, secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Menurut jumhur ulama, prinsip utama dalam riba adalah penambahan, yaitu penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. Menurut Qatadah, riba jahiliyyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran san pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan. [5]
H. Riba Dalam Perspektif Hadis Nabi
Apabila terminologi riba dalam al-Qur’an digunakan dalam konteks kaitannya dengan utang piutang, lain halnya dalam Hadis Nabi, meskipun dasar rujukannya berpangkal dari permasalahan utang piutang , namun juga dapat berupa pinjaman atau pembayaran jual beli yang ditangguhkan. Di samping itu, pembicaraan tentang riba dalam Hadis Nabi juga berkaitan dengan bentuk - bentuk jual beli tertentu yang dipraktikan pada masa pra – Islam. Dalam salah satu sabdanya Nabi Muhammad menjelaskan bahwa semua praktik riba pada masa pra – Islam adalah batal dan tidak berlaku. Sebagaimana dikutip oleh Usama bin Zayd yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan riba hanyalah dalam penangguhan (nai’ah). Hadis ini tampaknya menunjukkan kebiasaan yang dipraktikkan pada masa pra – Islam.
Hadis – Hadis yang menerangkan tentang riba kebanyakan berkaitan dengan transaksi jual beli. Misalnya Hadis yang membicarakan tentang riba berikut
عَنْأَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيٌ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّ هَبِ وَالْفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَالْبِرُّ بِالْبِرَّ وَالشَّعِيْرُ بِا لشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُبِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ
فَمَنْ زَادَ أَوِاسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
“Diriwayatkan oleh Abu Said al – Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama – sama salah.” (HR. Muslim)
Demikian pula Hadis yang menjelaskan tentang larangan jual beli (tukar menukar) barang sejenis sperti emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung yang harus dilakukan dengan jumlah atau kadar yang sama. Rasullullah bersabda:
عَنْ عَبْد الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ : قَالَ أَبُو بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَبِيعُوا الذَّ هَبَ بِالذَّ هَبِ إِلاَّ سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَالْفِضَّةَ بِالْفِضَةِ إِلاَّ
سَوَءً بِسَوَاءٍ وَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّةَبِالذَّ هَبِ كَيْفَ شِئْتُمْ (رَوَاهُ الْبُخَارِىُ).
“Dari ‘Abd al – Rahman ibn Abi Bakrah, katanya: Abu Bakrah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “ Jangan kalian jual beli emas dengan emas kecuali yang sama – sama, perak dengan perak kecuali yang sama – sama. Dan jual belilah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuai dengan keinginan kalian.” (HR. al - Bukhari)
Hadis di atas menjelaskan bahwa jual beli dengan barang yang sejenis seperti emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma harus dilakukan dengan ukuran, takaran dan timbangan yang sama. Jika jual beli (tukar – menukar) itu dilakukan dengan ukuran dan timbangan yang berbeda, maka termasuk kategori riba, kecuali objek yang diperjualbelikan berbeda, misalnya emas dengan perak, emas dengan gandum, kurma dengan gandum, maka diperbolehkan dengan ukuran dan timbangan yang berbeda. Karena itu, tidak boleh jual beli satu dirham dengan dua dirham dan satu dinar dengan dua dinar, sebagaimana sabda Nabi:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لا تَبِيْعُوا الدِّينَارَ بِالدِّينَا
رَيْنَ وَلاَ الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
“Dari ‘Utsman ibn ‘Affan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian berjual beli satu dinar dengan dua dinar dan satu dirham dengan dua dirham.” (HR. Muslim)
Apabila salah satu sifat barang yang diperjualbelikan berubah, misalnya warnanya kusam karena lama tidak terjuak dan yang lainnya masih segar, maka jual beli dengan ukuran yang berbeda diperbolehkan. Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : التَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَا لْحِنْطَةُ بِالْحِنْطَةِ
وَالشَّعِيرُ بِا لشَّعِيرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى إِلاَّ مَا
اخْتَلَفَتْ أَلْوَانُهُ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
“Dari Abu Hurayrah, katanya: Rasulullah SAW bersabda, “Jual beli kurma dengan kurma, biji gandum dengan biji gandum, tepung dengan tepung, garam dengan garam harus sama dan langsung serah terima. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia melakukan riba kecuali yang warnanya berbeda.”[6]
I. Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar, riba dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli. Riba utang-piutang terbagi dua, yaitu riba qardhdan riba jahiliyyah. Adapun riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
Riba qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang berhutang. Misalnya, seseorang yang berhutang seratus ribu rupiah diharuskan membayar kembali seratus sepuluh ribu rupiah, maka tambahan sepuluh ribu rupiah adalah riba qardh. Larangan riba ini berdasar firman Allah dalam surah ar-Rum ayat 39 :
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوعِندَ اللَّهِ وَمَا آتَبْتُم مِّن زَكَا ةٍ تُرِيدُونَ
وَجْهَ
اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Riba jahiliyyah adalah utang yang dibayar lebih dari pokoknya kerena peminjam tidak mampu membayar utangnya ada waktu yang ditentukan, disebut juga ribayad. Biasanya jika peminjam tidak mampu membayar pada waktu yang ditentukan, maka bunganya akan bertambah dan bertambah sejalan dengan waktu tunggakan. Menurut al-Jashshash, riba yang dikenal dan dikerjakan oleh orang Arab dahulu (masa Jahiliyyah) adalah utang beberapa dirham atau dinar, ketika pengembalian diberi tambahan sesuai perjanjian ketika utang dimulai. Dasar larangan riba kategori ini antara lain firman Allah dalam surah Ali ‘Imran ayat 130 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba, dengan berlipat ganda, dan bertawakalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Riba Fadhl adalah pertukaran anatar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Perkataan fadhl berarti kelebihan yang dikenakan dalam pertukaran atau penjualan barang yang sama jenisnya atau bentuknya. Riba kategori ini dilarang berdasar Hadis Nabi di atas, yaitu:
عَنْ عَبْد الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ : قَالَ أَبُو بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَتَبِيعُوا الذَّ هَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَالْفِظَّةَ بِالْفِضَّةِ إِلاَّ سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّةَ بِالذَّهَبَ كَيْفَ شِئْتُمْ (رَوَاهُ الْبُخَا رِىُ).
“Dari ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakrah, katanya: Abu Bakrah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Jangan kalian juak emas dengan emas kecuali yang sama-sama, perak dengan perak kecuali yang sama-sama. Dan jual belilah emas dan perak atau perak dengan emas sesuai dengan keinginan kalian.” (HR. al - Bukhari)
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ سَمِحَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الْبُرُّ
بِالْبُرِّ رَبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رَبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَوَهَاءَ
(رَوَاهُ الْبُخَارِىُ)
“Dari Malik ibn Aus, ia mendengar ‘Umar RA dari Nabi SAW ia bersabda, “Jual beli gandum dengan gandum adalah riba kecuali sama-sama, tepung dengan tepung adalah riba kecuali sama-sama, dan kurma dengan kurma adalah riba kecuali sama-sama”. (HR. al - Bukhari)
Riba nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Dikatakan nasi’ah karena orang yang berutang dapat dikatakan memaafkan penundaan bayaran utang tersebut dengan ganti rugi tambahan atas modalnya. Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawzziyah, riba nasi’ah adalah tambahan atas salah satu barang yang diutang, seperti orang yang berutang sekati kurma di musim dingin dibayar kembaki satu setengahnya di musim panas. Larangan riba nasi’ah didasarkan pada Hadis Nabi:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَتَبِيعُوا الذَّهَبَ
بالذَّهَبَ وَلاَ الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Abu Sa’id al-Khudzri bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Jangan kalian jual beli emas dengan emas dan uang dengan uang kecuali dengan timbangan dan jenis yang sama.” (HR. Muslim)[7]
[1] Ahmad wardi, fiqh muamalat (jakarta: amzali,2015) hal 173-174
[2] Ibid, hal 186-187.
[3] Ibnu mas’ud dan zainal abidin, fiqih(bandung : CV pustaka setia, 2007) hal 33-39.
[4] Ibnu mas’ud dan zainal abidin, fiqih(bandung : CV pustaka setia, 2007) hal 47-48.
[5] Indri, HADIS EKONOMI (Jakarta : prenamedia group,2015) hal 181.
[6] Indri, HADIS EKONOMI (Jakarta : prenamedia group,2015) hal 186-191.
[7] Indri, HADIS EKONOMI (Jakarta : prenamedia group,2015) hal 192-195.